Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks! -----Menggagas Kesadaran Beridiologi Islam----- Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks!

Minggu, 16 November 2008

Aceh Menghadapi Pemilu 2009


Pemilu 2009 yang akan terlaksana pada 9 April mendatang, diyakini oleh sebagian besar rakyat Indonesia sebagai cerminan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik menjadi harapan yang selalu digantungkan rakyat pada setiap Pemilu. Sebagai sebuah momentum transformasi kehidupan berpolitik, tentunya Pemilu di harapkan berlangsung secara damai, jujur dan adil.

Fenomena Pemilu 2009 adalah suatu proses yang perlu dicermati secara serius karena pada Pemilu 2009 ini terdapat banyak perbedaan dan keunikan jika dibandingkan dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Perbedaan tersebut tampak kontras seperti, masa kampanye yang lebih panjang (12 Juli 2008 – 5 April 2009), tidak menggunakan sistem pencoblosan tetapi pencontengan, terdapat Parlok (Partai Lokal) di Aceh dan beberapa teknis pelaksanaan lainnya.

Tantangan Bagi Perdamaian Aceh

Dalam konteks ke-Acehan, hadirnya peserta Pemilu yang berbasis lokal menjadi perhatian publik tidak hanya di Indonesia tetapi juga dunia internasional. Parlok sebagai salah satu amanat yang dihasilkan dari MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) menjadi sebagai keberlanjutan perdamaian di Aceh. Pemilu 2009 adalah tantangan besar bagi perdamaian di Aceh karena dalam event tersebut merupakan arena pertarungan berbagai kepentingan yang bersifat individual dan kolektif antarpartai baik nasional maupun lokal.

Pertarungan yang tidak sehat adalah kondisi yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan perdamiaan di Aceh. Suhu konflik yang belum begitu reda menjadi momok dalam keseluruhan proses Pemilu 2009. Sensitivitas inilah yang perlu diwaspadai dan dikelola oleh berbagai pihak terutama Komisi Independen Pemilihan (KIP), kepolisian, serta peserta Pemilu (Parnas dan Parlok). Penulis menghadiri sebuah forum diskusi yang dilaksanakan Bema IAIN ar-Raniry yang menghadirkan pembicara dari ketiga unsur tersebut di atas ditambah dari unsur ulama pada tanggal 15 November 2009 lalu. Terungkap bahwa masih banyak persoalan dalam pelaksanaan Pemilu di Aceh yang perlu dibenahi, diantaranya pembentukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh yang masih terhambat karena kesenjangan antara UU Pemilu dan UU PA. Eksistensi Panwaslu merupakan perkara yang cukup vital untuk mengawasi proses Pemilu sehingga berbagai kecurangan dapat termonitor secara objektif.

Diskusi dengan mengangkat tema “Pemilu Sehat dalam Bingkai Perdamaian Aceh” tersebut adalah salah satu upaya untuk menganalisis peta politik Aceh pada 2009 serta mewacanakan Pemilu damai. Dalam salah satu paparan Kapolda NAD dalam diskusi tersebut yaitu, kriminal (perampokan) di Aceh terjadi menggunakan senjata api laras panjang dan ini sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Namun, data lain dari Kapolda menunjukkan bahwa tingkat kriminal di Aceh tahun 2008 menurun jika di bandingkan dengan tahun 2007.

Potensi konflik memang mungkin terjadi kembali di Aceh dengan berbagai indikasi fakta di lapangan yang menjuru pada intimidasi-intimidasi melibatkan segelintir pihak yang berkepentingan dalam Pemilu 2009. masyarakat secara umum tidak akan menceburkan diri kembali dalam konflik Aceh. Namun, situasi perpolitikan di Aceh sangat rentan dijadikan pemicu konflik oleh segelintir pihak yang ingin meraih keuntungan. Analisis yang lebih ekstrim kondisi Aceh pasca pemilu yaitu ancaman disintegrasi dengan berasumsi menangnya salah satu kekuatan politik lokal.

Upaya untuk mengantisipasi pertarungan yang tidak sehat antarpeserta Pemilu menurut informasi yang penulis dapatkan, dikeluarkannya ikrar Pemilu damai beberapa waktu lalu yang substansi dari ikrar tersebut adalah melaksanakan Pemilu yang damai dan menciptakan suasana politik yang edukatif kepada masyarakat. Diharapkan ikrar tersebut bukan hanya sekedar lips service bagi mereka, karena paradigma pelaku politik saat ini hanya menyampaikan janji-janji yang miskin realisasi.

Apatisme Masyarakat Aceh Mungkinkah?

Secara nasional sikap apatis terhadap proses demokrasi tersebut telah tampak pada event Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa tempat. Angka golput (golongan putih) sangat tinggi bahkan melebihi pemenang pada pemilihan. Baru-baru ini Pilkada putaran kedua di Jawa Timur (Jatim) hasil pehitungan manual KPUD yang digelar Selasa (11/11) menunjukkan, jumlah angka golput mencapai 13.367.469 atau 45,65 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 29.280.470. (Surya Online)

Fenomena golput bukan tidak beralasan, ada beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya golput. Pertama golput teknis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih, berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap proses pemilihan tersebut bukanlah hal yang penting bagi mereka. Andaikata hal itu dinilai penting apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS. Kedua alasan politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Ketiga, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) karena menganggap bahwa perubahan menuju perbaikan hanya mungkin dilakukan jika syariat Islam dijadikan landasannya.

Dengan bercermin pada Pilkada tentunya Pemilu 2009 juga akan mengalami apatisnya masyarakat terhadap parpol. Di samping itu kesadaran masyarakat terhadap paradigma politik yang pragmatis adalah wujud pencerdasan politik yang menjadi mainstream oleh beberapa gerakan politik ekstraparlemen.

Kondisi apatisnya masyarakat secara nasional mungkin agak berbeda dengan Aceh. Parlok sebagai pemain baru yang hadir di arena perpolitikan Aceh disinyalir akan merealisasikan berbagai kepentingan masyarakat Aceh. Parlok secara historis dan empiris belum memiliki sesuatu yang dapat ditunjukkan dalam posisinya sebagai parpol. Sehingga sebagian masyarakat belum bisa menilai eksistensi parlok untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Ditambah lagi kondisi masyarakat Aceh yang masih awam dalam memahami situasi politik. Dengan demikian trust (kepercayaan) terhadap parlok akan besar.

Namun, tetap bahwa segala sesuatu bisa terjadi dalam dunia perpolitikan. Berbagai strategi Parlok untuk menarik suara dari masyarakat bisa berubah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri dalam masa kampanye yang panjang ini. Reduksi isu Syariat Islam yang juga menjadi icon (simbol) perjuangan Aceh masa lalu perlahan mulai terjadi. Belum tampak suara lantang dari parlok yang berkomitmen untuk penegakan Syariat Islam. Seandainya masyarakat kritis dan masih memiliki komitmen terhadap syariat mungkin sikap apatis masyarakat juga terjadi situasi Pemilu di Aceh. (doumy_1@yahoo.com)