Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks! -----Menggagas Kesadaran Beridiologi Islam----- Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks!

Kamis, 01 Januari 2009

Kapitalisasi Pendidikan Terus Berlanjut (Menanggapi Lahirnya UU BHP)

Oleh: Iwan Doumy

Pendidikan adalah sesuatu kebutuhan yang sangat vital bagi manusia. Karena pendidikan adalah proses memanusiakan manusia yang menempatkan manusia pada posisi yang mulia dari makhluk lain. Islam telah dengan jelas mendorong umatnya untuk menempuh proses pendidikan sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR al-Baihaqi dan Ibnu Adi).


Dalam hukum Indonesia hak atas pendidikan bagi warga negara menjadi prioritas dalam menentukan kemajuan nasional. Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan bernegara kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan redaksi yang hampir serupa, penegasan bahwa pendidikan adalah bagian dari Hak Asasi Manusia dicantumkan pula dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disingkat SISDIKNAS) dengan jelas menyatakan bahwa pendidikan yang bermutu adalah hak setiap warga negara. Dalam mengupayakan terpenuhinya hak pendidikan tersebut pemerintah sekurang-kurangnya mengalokasikan anggaran 20 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan secara internasional pendidikan sebagai hak juga ditegaskan dalam Universal Declaration on Human Rights di pasal 26.
Dengan berbagai instrumen tersebut sudah selayaknya yang menjadi prioritas utama adalah menciptakan prosedur pendidikan untuk terpenuhinya hak warga Negara terhadap pendidikan. Pada skala nasional Indonesia, UU SISDIKNAS adalah salah satu pedoman pengaturan pendidikan itu.

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan: Komersialisasi Pendidikan
Rabu 17 Desember 2008 lalu, DPR RI mengetuk palu pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), meskipun puluhan mahasiswa UI melayangkan protes dan sempat membuat kericuhan di tengah berlangsungnya sidang. Rancangan UU BHP sudah dibahas sejak 2006 itu merupakan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”.

Disahkannya UU BHP mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Unjuk rasa oleh mahasiswa di berbagai daerah terus bergulir untuk menolak lahirnya UU BHP sebagai upaya komersialisasi pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan menjadi isu utama polemik pengesahan RUU BHP. Terutama pada jenjang pendidikan tinggi yang saat ini membutuhkan dana sangat besar bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Melalui kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) terhadap perubahan status beberapa perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) mengakibatkan biaya masuk kuliah dan SPP meningkat. Dalam situs beritan online (kompas.com, 12 Mei 2008) menyebutkan biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta.

Fakta lain misalnya, Universitas Indonesia (UI) yang berstatus BHMN menyelenggarakan pendanaan melalui jalur khusus seperti PPMM (Program Pengembangan Minat Mandiri) pada tahun 2003 dan 2004, di mana biaya kuliah yang wajib dibayarkan oleh mereka yang sanggup membayar lebih tidak kurang dari Rp 25 juta di muka dan Rp 7,5 juta per semesternya. Meski program ini diberitakan hanya mengambil jatah sebanyak 20% dari total mahasiswa UI (yang sebagian besar berasal dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), namun tetap saja hal ini mengindikasikan bahwa biaya pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah.

UU BHP dikhawatirkan akan membawa pendidikan Indonesia semakin sulit dijangkau masyarakat miskin karena mengandung unsur komersialisasi bidang pendidikan sebagai hasil kapitalisasi global. Indikasi tersebut muncul karena perguruan tinggi harus otonom, yang berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan sekolah/madrasah harus dikelola dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

Jika kita menyorot pengelolaan perguruan tinggi akan cenderung berbentuk korporasi atau perusahaan yang bisa pailit dan dibubarkan seperti yang sebagaimana tertera dalam pasal 57 UU BHP. Jika terjadi defisit anggaran pada sebuah perguruan tinggi maka institusi tersebut akan pailit dan bubar.

Sedangkan Fasli Jalal, Ditjen Dikti Depdiknas mengatakan BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20% peserta didik baru (Dikti.org, 18/12/08). Porsi 20% untuk siswa/mahasiswa miskin yang berprestasi juga tidak menjanjikan pendidikan mudah dijangkau.

Sehingga sebuah kewajaran jika muncul kekhawatiran sulitnya menempuh proses pencerdasan anak bangsa di tengah kondisi pendidikan yang runyam. Data statistik pendidikan di Indonesia mencatat pada tahun 2006 dari total anak usia sekolah yang ada di Indonesia sebesar 84.353.000 anak, ada sebanyak 34.909.048 anak usia sekolah (5-24 tahun) yang tidak bersekolah, dimana 35,78% diantaranya tidak bersekolah karena alasan kurangnya biaya serta 23,56% harus bekerja baik untuk memenuhi biaya pendidikannya agar tetap dapat bersekolah maupun dipekerjakan oleh orang tuanya untuk menghidupi keluarganya. Sebuah data yang cukup ironis menggambarkan bagaimana jadinya ketika isu komersialisasi pendidikan melalui UU BHP benar-benar terjadi. Semakin banyak warga Negara yang tidak mendapatkan haknya untuk mengecap pendidikan. Padahal jelas-jelas bahwa instrumen hukum dasar Indonesia melalui UUD 1945 telah mengakomodasi pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara.

Agenda Kapitalisasi Pendidikan

Kapitalisasi pendidikan di Indonesia terus berlanjut dengan hadirnya kebijakan-kebijakan pemerintah seperti BHMN dan yang sedang menjadi polemik yaitu UU BHP. Itulah paradigma yang yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi sebagai implikasi penerapan kapitalisme pasar bebas yang membatasi dan meminimalisasi peran negara. Argumen tentang pendidikan bermutu itu mahal memang tak terbantah. Kualitas pendidikan yang baik diperlukan sarana, sistem pendidikan, dan efisiensi pengelolan yang baik pula. Nah, Untuk mencapainya diperlukan biaya besar. Biaya yang besar itu tidaklah menjadi beban bagi warga negara karena negaralah yang seharusnya memenuhi hak pendidikan sebagai hak konstitusional rakyat. Yang selama ini terjadi, malah sebaliknya sehingga pendidikan berkualitas hanya dinikmati orang-orang yang mampu secara ekonomi. Dengan berbagai dalih pemangku kebijakan mengalihkan pengelolan pendidikan menjadi badan otonom yang mengharuskan institusi tersebut pontang-panting mencari dana. Akibatnya biaya pendidikan (SPP) pun dinaikkan.
Peran negara mengurusi pendidikan terasa setengah hati dan semakin direduksi. Hal tersebut tampak pada anggaran untuk pendidikan sebesar 20% belum terpenuhi. Bahkan berdasarkan skenario anggaran pendidikan untuk mencapai angka 20%, pada tahun ini (2008) ditargetkan alokasi mencapai 17,4%, namun realisasinya hanya 9,5%. Dana negara dihabiskan untuk bayar hutang dan bunganya, sehingga alokasi dana untuk pendidikan menjadi minim dan tidak mampu mencapai angka 20%.

Upaya untuk memaksimalkan peran negara dalam mengelola pendidikan adalah kerangka peningkatan mutu pendidikan. Karena pendidikan adalah hak warga Negara yang harus dipenuhi serta pendidika adalah modal utama menuju perbaikan negeri ini. Dalam konsep Islam fungsi pemerintahan adalah ri’ayatu as-su’un al-ummah (memelihara dan mengatur urusan umat) dengan syariat Islam. Pendidikan merupakan salah satu tanggung jawab negara baik dari sisi pembiayaan maupun pelaksanaannya. Sehingga melalui paradigma tersebut pendidikan murah dan bermutu bukan lagi menjadi barang langka.


Liza Marthoenis mengatakan...

keren postingannya.. btw, udah dikirim ke media? liza juga mau ngirim opini tentang UU BHP ke media

Doumy mengatakan...

udah dikirim tapi tak kunjung muncul-muncul.... thanks liza. salam kenal