Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks! -----Menggagas Kesadaran Beridiologi Islam----- Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks!

Minggu, 26 Oktober 2008

Kritik Terhadap RUU Pornografi

Tanpa mengurangi semangat untuk menolak segala bentuk budaya porno yang melatarbelakangi RUU Pornografi ini, ada sejumlah catatan sekaligus kritik terhadap subtansi maupun isinya. Dari sisi subtansi, paling tidak ada dua hal yang perlu dikritisi.
Pertama: RUU ini telah mengalami perubahan, yakni dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP) menjadi RUU Pornografi. Perubahan ini jelas kontraproduktif sekaligus kontradiktif (bertentangan) dengan semangat awal untuk memberantas dan menghapus segala bentuk kepornoan. Penghapusan kata anti pada judul RUU memberikan kesan, bahwa RUU ini hanya akan mengatur pornografi, dan bukan berniat menghapuskannya.
Adapun penghapusan kata pornoaksi mengandung pengertian, bahwa yang diatur hanyalah pornografi (media/sarana yang mengandung unsur kepornoan), sementara pornokasi (perilaku porno seperti cara berpakaian yang mengumbar aurat ataupun tindakan porno lainnya di tempat umum) tidak diatur alias dibiarkan. Karena itu, alih-alih pornografi dan pornoaksi akan lenyap, dengan disahkannya RUU Pornografi ini menjadi UU, pornografi dan pornoaksi mungkin malah akan semakin berkembang.
Kedua: Tidak digunakannya hukum Allah (syariah Islam) sebagai standar. Akibatnya, RUU ini terjebak dalam tarik-ulur yang berlarut-larut karena mengikuti kehendak masyarakat yang pro maupun yang kontra terhadap RUU ini. Pada akhirnya, RUU ini cenderung merupakan hasil kompromi dari dua kehendak yang saling bertentangan satu sama lain.
Adapun dari sisi isi, beberapa cacat utama RUU Pornografi ini—yang sebetulnya merupakan konsekuensi dari dua faktor subtansial di atas—antara lain adalah:
Pertama, masalah definisi. Dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan: Pornografi diartikan sebagai: adalah materi seksualitas yang dibuat manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar kesusilaan masyarakat.
Pasal ini saja mengandung sejumlah masalah:
Yang termasuk dalam cakupan pornografi menurut RUU ini hanyalah materi seksualitas yang mengandung unsur: (a) yang dapat membangkitkan hasrat seksual, dan/atau (b) melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam mayarakat. Pengertian ini masih belum konkret sehingga bisa menimbulkan macam-macam penafsiran masing-masing orang. Misal: Apa batasan ‘membangkitkan hasrat seksual’ itu dan siapa yang berhak menentukan kriterianya? Apa yang dijadikan sebagai standar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat? Masyarakat yang mana? Bukankah di Indonesia terdapat banyak suku dan budaya yang memiliki standar nilai kesusilaan yang berbeda-beda?
Dalam pasal-pasal berikutnya memang dijelaskan beberapa jenis materi pornografi yang dilarang. Namun, materi pornografi yang dilarang itu sangat sempit dan sedikit sehingga memberikan peluang bagi lolosnya banyak materi pornografi di masyarakat.
Pengertian pornografi dalam RUU ini juga mencakup ’pertunjukan di muka umum’. Tampaknya pengertian tersebut berusaha mencakup wilayah ’pornoaksi’. Akan tetapi, jangkauannya amat sempit karena yang disebutkan hanya ’pertunjukan’ saja. Berbagai tindakan lain yang termasuk dalam ’pornoaksi’ (seperti cara berpakaian yang mengumbar aurat di tempat umum, berpelukan dan berciuman di tempat umum, dll) tidak bisa dijerat dalam RUU ini.
Kedua: masalah larangan. Ada sejumlah larangan dalam RUU ini yang juga bermasalah. Dalam Pasal 4 ayat 1, misalnya, disebutkan: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: (e) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, (f) kekerasan seksual, (g) masturbasi atau onani, (h) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, atau (i) alat kelamin.
Menurut pasal ini, materi seksual yang dikategorikan sebagai pornografi hanya menyangkut lima perkara, yang semuanya hanya berkisar pada kelamin saja (persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, dan alat kelamin). Ini berarti, materi pornografi selain yang disebutkan itu tidak termasuk dalam kategori pornografi yang dilarang. Kesimpulan ini juga sejalan pasal 13 ayat 1.
Dengan demikian, mempertontonkan beberapa anggota tubuh lainnya yang juga dapat membangkitkan hasrat seksual seperti paha, pinggul, pantat, pusar, perut dan payudara perempuan tidak termasuk dalam pornografi yang dilarang. Kategorisasi demikian tentu sangat membahayakan dan merusak kehidupan masyarakat. Akan muncul banyak produk dan perbuatan porno secara bebas tanpa takut diusik siapapun karena telah mendapatkan legalisasi dari RUU ini. Perempuan yang terbiasa mempertontonkan beberapa anggota tubuhnya seperti paha, pinggul, pantat, pusar, perut, dan payudara, misalnya, menjadi semakin merasa aman. Demikian juga berbagai tindakan yang membangkitkan hasrat seksual seperti tarian erotis, berciuman, berpelukan, dan sebagainya.
Ketiga: masalah pembatasan. Dalam RUU ini juga ada sejumlah pembatasan yang juga bermasalah. Dalam pasal 14, misalnya, disebutkan: Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: (a) seni dan budaya (b) adat istiadat, dan (c) ritual tradisional.
Pembatasan ini tentu berbahaya. Bagaimana mungkin dengan alasan itu, materi seksualitas dapat dibuat, disebarluaskan dan digunakan? Apalagi tidak ada batasan yang jelas mengenai materi seksualitas yang dimaksud. Seni dan budaya yang mengantarkan pada kerusakan moral masyarakat seharusnya dilarang, bukan malah dikecualikan dari larangan pornografi. Bukankah selama ini pornografi dan pornoaksi dapat merajalela di tengah masyarakat justru sering atas nama seni, budaya, olahraga dan semacamnya? Demikian juga dalam adat-istiadat dan ritual tradisional. Tugas Pemerintah di antaranya justru melakukan bimbingan dan menumbuhkan kesadaran pada masyarakat yang memiliki adat-istiadat dan ritual tradisional yang menyimpang, bukan malah justru melegalisasinya dengan UU.
Sumber: Buletin Al-Islam edisi 424 “Catatan Kritis atas RUU Pornografi”



Anonim mengatakan...

namun yang kontra thp RUU ini bukan melihat dari sudut pandangn ini, malah sebaliknya...
untuk memberikan kritikan yang bisa membuahkan masukan malah mengkritisi untuk menyudutkan...

Doumy mengatakan...

trim's aulia. memang yang kontra disahkannya RUU itu adalah orang-orang yang ingin melanggengkan pornografi, dengan berbagi alasannya untuk mengkompromikan isi RUU bahkan menolaknya. saya sangat mensuport pemerintah untk membuat UU ttg anti pornografi, namun perumus ruu terbawa arus untuk mengkompromikan substansi dan isi RUU sehingga tujuan utama untuk menghapus budaya porno malah kabur (tidak jelas).