Pada saat ini adalah moment yang membuat suasana dunia pendidikan ramai. Ilustrasi tersebut terlihat sangat kentara ketika kita mengakses wilayah-wilayah basis pendidikan formal seperti sekolah dan universitas baik negeri maupun swasta. Orang tua siswa yang tahun ini anaknya lulus dalam saringan UN disibukkan dengan persoalan memilih jenjang pendidikan lanjutan terbaik bagi buah hatinya. Hal seperti ini menjadi sesuatu fenomena yang wajar terjadi dalam kehidupan manusia. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di benak kita, yaitu bagaimana hasil yang telah ditelurkan oleh sistem pendidikan yang sedang kita jalani saat ini?
Kita dapat mengambil beberapa contoh kasus yang mewajarkan munculnya pertanyaan seperti tadi. Jika kita menilik fakta-fakta kelulusan dalam UN, terdapat kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Yang pertama, proses pelaksanaan UN yang kerap kali terjadi kecurangan. Seperti yang penulis kutip dari harian Kompas (28/04/2007) yang menyatakan pengakuan beberapa guru dan pengawas di Medan terhadap kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Hal seperti ini juga mungkin terjadi terhadap pelaksanaan UN di NAD walaupun tidak terungkap secara terang-terangan.
Yang kedua, angka kelulusan di wilayah tertentu yang rendah seperti yang pernah diberitakan beberapa media massa beberapa hari lalu. Yang ketiga, pemaknaan kelulusan yang keliru dilakukan oleh anak didik terutama tingkat SMA/MA dan SMK sehingga mencoreng Syariat Islam yang sedang diterapkan di NAD. Fakta ini sangat jelas terlihat pada hari pengumuman kelulusan UN, ratusan siswa/i tingkat SMA/MA dan SMK melakukan coret-coretan baju yang dilanjutkan pawai melalui jalur-jalur strategis perkotaan.
Tidak lepas dari Ujian Nasional (UN), pelaksanaan SNM-PTN yang merupakan keberlanjutannya juga perlu dicermati. Keinginan yang besar untuk menembus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga menimbulkan masalah yang riskan terhadap idealisme seorang muslim. Tidak sedikit dari pendaftar SPMB yang telah mengatur strategi-strategi ilegal yang bertujuan agar dalam ujian yang akan dilaksanakan pada 2 dan 3 Juli 2008 itu mereka berhasil.
Strategi busuk tersebut, misalnya mengambil formulir pendaftaran secara berurut sehingga mendapat nomor ujian yang berurut pula dengan tujuan agar pada saat ujian berlangsung mereka dapat bekerja sama satu sama lainnya, tentunya jika pengawas ujiannya lalai. Dan cara lain yang tak jauh beda yaitu dengan membayar orang-orang yang telah berpengalaman atau lebih populer disebut gacok untuk menjawab soal-soal di naskah ujian SNM-PTN. Hal-hal seperti ini kerap terjadi tiap tahunnya dalam pelaksanaan SNM-PTN.
Ironisnya, orang-orang tertentu mencari dalih untuk melegalkan dan menghalalkan perbuatan dosa seperti ini. Suatu taraf berpikir yang sangat bertentangan dengan nilai Islam. Pelanggaran ini menjadi rahasia umum dalam dunia pendidikan saat ini seolah-olah Syariat Islam tidak menjangkau hal-hal seperti ini. Ketika syara’ telah menghukumi suatu perkara itu haram maka tidak ada lagi tawar-menawar untuk menjadikannya makruh atau mubah sekalipun. Sebagaimana para sahabat berkata sami’na wa ata’na (kami dengar dan kami taat) yang mengandung pengertian bahwa bersegera dalam bersyariat. Gambaran ini selaras dengan fakta yang penulis temukan di sela-sela sibuknya pendaftaran SNM-PTN tahun ini. Tak sedikit dari pendaftar menggaet teman-temannya yang sekiranya dianggap mumpuni dalam akademik untuk menjawab soal-soal tes, sehingga dapat membantu mereka untuk lulus di PTN yang mereka incar.
Praktik yang jelas-jelas keharamannya ini seolah menjadi hal yang lumrah dilakukan. Mengapa hal seperti ini terjadi? Inilah refleksi dari rendahnya mutu pendidikan kita terutama dalam menavikan nizhom (peraturan) di dalam Islam.
Realitas seperti ini menandakan bahwa jauhnya kita dari aturan Allah SWT. Sebagai Al-Mudabbir. Keterikatan hubungan dengan-Nya yang selanjutnya disebut sebagai ruh, mengakibatkan seluruh perbuatan kita tidak dihukumi dengan hukum Syara’. Ketika dalam proses pembelajaran tidak diikuti dengan ruh, maka wajar berbagai penyimpangan terhadap syariat pun terjadi pada dunia pendidikan.
Sama halnya dalam UN maupun SPMB, kecurangan tidak akan terjadi jika nilai ruh dan budaya muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. pen.) ditanamkan di bangku persekolahan. Sehingga, ide-ide untuk berbuat curang tak akan muncul dalam mencapai cita-cita yang telah digantungkan setinggi bintang di langit sekalipun. Begitu juga hasil kelulusan yang dimaknai dengan berhura-hura, coret-coretan, dan berbagai corak budaya rusak lainnya, telah menjadi paradigma remaja di wilayah yang sedang diberlakukannya Syariat Islam ini.
Kegagalan Pendidikan
Kegagalan pendidikan dalam menghasilkan output yang bermutu, jangan hanya dilimpahkan pada individu anak didik bahkan lembaga pendidikan sekalipun. Porak-porandanya pendidikan telah dialami puluhan tahun lalu. Simpul permasalahannya terletak pada sistem yang digunakan yaitu sekuleristik, yang diharap melakukan pendidikan manusia malah melakukan “penyesatan” manusia. Itulah sebabnya perlu langkah konkrit dan sinergis dalam mencari solusi. Kondisi ironis ini, layaknya lingkaran setan bagi dunia pendidikan yang selalu menghantui dan akan terus bergelinding bagaikan bola salju yang siap menhantam. Jika tidak disikapi secara serius, akan lahir generasi-generasi yang rusak karena tidak memiliki lagi pola pikir dan pola sikap yang islami.
Dalam hal ini, Islam adalah satu-satunya agama yang mampu menjawab kebuntuan dalam mencari penyelesaian seperti masalah pendidikan. Islam terbukti secara normatif, historis maupun empiris telah mampu mewujudkan dirinya sebagai sebuah hadlarah (peradaban) yang tinggi. Ilmuan terkemuka seperti Ibnu Sina dan kawan-kawan lahir dari peradaban Islam yang jauh meninggalkan Eropa.
Apa bedanya dengan kita saat ini yang telah diberi kesempatan untuk melaksanakan Syariat Islam, tentunya juga ingin menciptakan pendidikan yang bernuansa Syariah. Karena sistem pendidikan Islam merupakan sistem yang mampu memanusiakan manusia, bukannya sistem pendidikan sekuler yang telah melakukan dikotomi sehingga memisahkan ilmu umum dan ilmu agama. Mudah-mudahan dengan kesempatan ini kita akan menata pendidikan ke arah yang lebih baik.
Yang kedua, angka kelulusan di wilayah tertentu yang rendah seperti yang pernah diberitakan beberapa media massa beberapa hari lalu. Yang ketiga, pemaknaan kelulusan yang keliru dilakukan oleh anak didik terutama tingkat SMA/MA dan SMK sehingga mencoreng Syariat Islam yang sedang diterapkan di NAD. Fakta ini sangat jelas terlihat pada hari pengumuman kelulusan UN, ratusan siswa/i tingkat SMA/MA dan SMK melakukan coret-coretan baju yang dilanjutkan pawai melalui jalur-jalur strategis perkotaan.
Tidak lepas dari Ujian Nasional (UN), pelaksanaan SNM-PTN yang merupakan keberlanjutannya juga perlu dicermati. Keinginan yang besar untuk menembus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga menimbulkan masalah yang riskan terhadap idealisme seorang muslim. Tidak sedikit dari pendaftar SPMB yang telah mengatur strategi-strategi ilegal yang bertujuan agar dalam ujian yang akan dilaksanakan pada 2 dan 3 Juli 2008 itu mereka berhasil.
Strategi busuk tersebut, misalnya mengambil formulir pendaftaran secara berurut sehingga mendapat nomor ujian yang berurut pula dengan tujuan agar pada saat ujian berlangsung mereka dapat bekerja sama satu sama lainnya, tentunya jika pengawas ujiannya lalai. Dan cara lain yang tak jauh beda yaitu dengan membayar orang-orang yang telah berpengalaman atau lebih populer disebut gacok untuk menjawab soal-soal di naskah ujian SNM-PTN. Hal-hal seperti ini kerap terjadi tiap tahunnya dalam pelaksanaan SNM-PTN.
Ironisnya, orang-orang tertentu mencari dalih untuk melegalkan dan menghalalkan perbuatan dosa seperti ini. Suatu taraf berpikir yang sangat bertentangan dengan nilai Islam. Pelanggaran ini menjadi rahasia umum dalam dunia pendidikan saat ini seolah-olah Syariat Islam tidak menjangkau hal-hal seperti ini. Ketika syara’ telah menghukumi suatu perkara itu haram maka tidak ada lagi tawar-menawar untuk menjadikannya makruh atau mubah sekalipun. Sebagaimana para sahabat berkata sami’na wa ata’na (kami dengar dan kami taat) yang mengandung pengertian bahwa bersegera dalam bersyariat. Gambaran ini selaras dengan fakta yang penulis temukan di sela-sela sibuknya pendaftaran SNM-PTN tahun ini. Tak sedikit dari pendaftar menggaet teman-temannya yang sekiranya dianggap mumpuni dalam akademik untuk menjawab soal-soal tes, sehingga dapat membantu mereka untuk lulus di PTN yang mereka incar.
Praktik yang jelas-jelas keharamannya ini seolah menjadi hal yang lumrah dilakukan. Mengapa hal seperti ini terjadi? Inilah refleksi dari rendahnya mutu pendidikan kita terutama dalam menavikan nizhom (peraturan) di dalam Islam.
Realitas seperti ini menandakan bahwa jauhnya kita dari aturan Allah SWT. Sebagai Al-Mudabbir. Keterikatan hubungan dengan-Nya yang selanjutnya disebut sebagai ruh, mengakibatkan seluruh perbuatan kita tidak dihukumi dengan hukum Syara’. Ketika dalam proses pembelajaran tidak diikuti dengan ruh, maka wajar berbagai penyimpangan terhadap syariat pun terjadi pada dunia pendidikan.
Sama halnya dalam UN maupun SPMB, kecurangan tidak akan terjadi jika nilai ruh dan budaya muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. pen.) ditanamkan di bangku persekolahan. Sehingga, ide-ide untuk berbuat curang tak akan muncul dalam mencapai cita-cita yang telah digantungkan setinggi bintang di langit sekalipun. Begitu juga hasil kelulusan yang dimaknai dengan berhura-hura, coret-coretan, dan berbagai corak budaya rusak lainnya, telah menjadi paradigma remaja di wilayah yang sedang diberlakukannya Syariat Islam ini.
Kegagalan Pendidikan
Kegagalan pendidikan dalam menghasilkan output yang bermutu, jangan hanya dilimpahkan pada individu anak didik bahkan lembaga pendidikan sekalipun. Porak-porandanya pendidikan telah dialami puluhan tahun lalu. Simpul permasalahannya terletak pada sistem yang digunakan yaitu sekuleristik, yang diharap melakukan pendidikan manusia malah melakukan “penyesatan” manusia. Itulah sebabnya perlu langkah konkrit dan sinergis dalam mencari solusi. Kondisi ironis ini, layaknya lingkaran setan bagi dunia pendidikan yang selalu menghantui dan akan terus bergelinding bagaikan bola salju yang siap menhantam. Jika tidak disikapi secara serius, akan lahir generasi-generasi yang rusak karena tidak memiliki lagi pola pikir dan pola sikap yang islami.
Dalam hal ini, Islam adalah satu-satunya agama yang mampu menjawab kebuntuan dalam mencari penyelesaian seperti masalah pendidikan. Islam terbukti secara normatif, historis maupun empiris telah mampu mewujudkan dirinya sebagai sebuah hadlarah (peradaban) yang tinggi. Ilmuan terkemuka seperti Ibnu Sina dan kawan-kawan lahir dari peradaban Islam yang jauh meninggalkan Eropa.
Apa bedanya dengan kita saat ini yang telah diberi kesempatan untuk melaksanakan Syariat Islam, tentunya juga ingin menciptakan pendidikan yang bernuansa Syariah. Karena sistem pendidikan Islam merupakan sistem yang mampu memanusiakan manusia, bukannya sistem pendidikan sekuler yang telah melakukan dikotomi sehingga memisahkan ilmu umum dan ilmu agama. Mudah-mudahan dengan kesempatan ini kita akan menata pendidikan ke arah yang lebih baik.
artikel anda bagus dan menarik, artikel anda:
pendidikan terhangat
"Artikel anda di infogue"
anda bisa promosikan artikel anda di www.infogue.com yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!
naruto, trims atas infonya
naruto:terima kasih atas infonya
Comment Form under post in blogger/blogspot