Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks! -----Menggagas Kesadaran Beridiologi Islam----- Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks!

Kamis, 24 Februari 2011

Fenomena Punk, Ironi Negeri Syariat


Oleh: Iwan Doumy
Sungguh sangat fenomenal memang kondisi remaja kita di Aceh akhir-akhir ini. Hadirnya anak-anak remaja yang berpenampilan aneh dan melakukan aktifitas ugal-ugalan di jalanan layaknya kondisi yang biasa kita temukan di film-film barat. Ya, itulah kondisi yang kita temukan realitasnya di tengah-tengah kehidupan saat ini di Banda Aceh.

Komunitas yang disebut punk ini, kemudian mendapat respon dari pemerintah melalui razia oleh satpol PP dan WH Aceh karena telah meresahkan masyarakat (Harian Aceh, 10/02/2011). Melihat apa yang diberitakan media bahwa komunitas ini memiliki kelompok-kelompok dengan nama yang berbeda-beda pula.

Opini yang berkembang tentang punk seolah menganggap hal ini perkara yang wajar terjadi di tengah era globalisasi serta mengaitkannya dengan aspek kemanusiaan. Punk juga manusia seolah membenarkan adanya punk dengan alasan meluapkan ekspresi seni yang dimiliki sehingga layak dipertahankan eksistensinya. Hanya saja perlu diarahkan agar tidak terjerumus ke hal-hal negativ dan menggangu kenyamanan masyarakat. Bahkan sebuah lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan Aceh menganggap razia terhadap punk beberapa waktu lalu di Banda Aceh telah melanggar HAM karena melarang orang berkumpul dan berekspresi. Itulah, sepintas paradigma yang penulis dapat pahami dari opini yang berkembang.

Ironis memang realita punk telah merambah daerah yang sedang melaksanakan syariat Islam secara formal seperti di Aceh. Realitas kehidupan punk sangat kontradiktif dengan nilai-nilai Islam yang sedang berlaku di Aceh. Bukan hanya sekedar menggangu keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi lebih dari itu adalah sebuah budaya hidup hasil dari peradaban barat yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Mengapa kemudian penulis mengklaim bahwa punk adalah budaya yang bertentangan dengan Islam? Dan semua yang bertentangan dengan Islam adalah tertolak alias haram dilakukan dan dipertahankan eksistensinya. Tentu klaim ini bukan tidak berdasar.

Secara normatif bahwa punk tidak dibenarkan dalam Islam karena mengandung hadlarah (peradaban) asing dan bagian dari menyerupai suatu kaum. Kita bisa melihat fakta bahwa komunitas punk di Banda Aceh sama seperti apa yang dilakukan oleh komunitas punk di negara asalnya di Inggris dengan berbagai ciri kekhasan penampilan dan tingkah laku yang dapat dipastikan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Secara empiris, keberadaan punk akan menyebabkan rusaknya akhlak dan melemahkan generasi muda dikarenakan aktifitas dan kebiasaan buruk mereka. Ugal-ugalan, budaya nongkrong dan kebiasaan lainnya yang jauh dari budaya akademis dan moral.
Sebagai sebuah daerah yang melaksanakan Syariat Islam tentu fenomena punk tidak bisa dianggap hal yang wajar dan pantas untuk dibenarkan eksistensinya. Munculnya komunitas ini kontradiktif dengan pelaksanaan Syariat Islam. Namun, muncul pertanyaan bagaimana bisa komunitas ini bisa berkembang di Banda Aceh?

Penulis berasumsi bahwa komunitas yang sudah besar ini tidak mungkin ada spontanitas di Banda Aceh. Tentu melalui proses yang sistematis baik langsung maupun tidak sehingga mampu menghimpun remaja-remaja usia sekolah ini melawan arus terhadap norma yang berlaku di masyarakat.

Di sisi lain menunjukkan bahwa pendidikan di Aceh belum mampu memproteksi dan menghasilkan generasi yang berkepribadian Islam sehingga begitu mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti generasi muda kita. Fenomena punk merupakan salah satu masalah yang menunjukkan rapuhnya pendidikan di Aceh. Konsepsi pendidikan yang berkarakter Islam tak kunjung rampung, padahal pendidikan adalah salah satu komponen dasar untuk optimalisasi penerapan syariat Islam. Sungguh tidak terbayangkan generasi muda kita di masa depan jika kondisi ini terus dibiarkan dan akan menjadi bola salju yang terus menggelinding siap menghantam sendi-sendi kehidupan religius di Aceh.

Adapun mempertahankan eksistensi punk di Banda Aceh dengan alasan kebebasan berekspresi juga perlu dikritisi. Ide kebebasan selalu akan menjadi dalih membenarkan prilaku menyimpang di tengah masyarakat walaupun telah nyata-nyata itu adalah sebuah penyimpangan. Ide kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu unsur ideologi kapitalisme-sekular telah nyata juga menyumbang kerusakan moral generasi muda seperti pergaulan bebas, penyimpangan seks (lesbian, gay, biseksual, dan transeksual), narkoba, dan lainnya. Apa yang perlu dibanggakan dari ide kebebasan yang kebablasan tersebut.

Upaya pemerintah untuk membendung meluasnya pengaruh komunitas punk di Aceh perlu didukung semua pihak. Orang tua, masyarakat dan lembaga pendidikan juga harus berperan sinergis untuk mengeliminasi budaya yang menyimpang tersebut. Namun, pemerintah juga jangan pernah mengabaikan sebab dari muncul dan berkembangnya komunitas punk dan segenap prilaku penyimpangan remaja lainnya di Aceh.

Untuk itu, pendidikan yang islami adalah salah satu solusi preventif-protektif untuk mewujudkan generasi yang berkepribadian tangguh yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap yang khas, penguasaan pemahaman Islam dan penguasaan ilmu sains teknologi. Paradigma seperti ini terbukti telah mampu melahirkan generasi-generasi islam yang gemilang di masa lalu baik pada masa kesultanan Aceh maupun kekhilafahan Islam.

Mudah-mudahan fenomena punk di Banda Aceh segera dapat dihilangkan demi kemaslahatan generasi muda yang paham bahwa dirinya adalah manusia yang terikat dengan aturan-aturan penciptanya.