Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks! -----Menggagas Kesadaran Beridiologi Islam----- Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks!

Minggu, 07 November 2010

Menanti Suara Mahasiswa


Isu kepemudaan selalu mengemuka pada bulan Oktober tiap tahunnya. Sumpah Pemuda yang telah berlangsung 82 tahun silam selalu dijadikan momentum kebangkitan pemuda yang diharapkan membawa perbaikan bagi negeri ini. Menyimak dari tulisan A. Wahab Abdi (Serambi Indonesia, 28 Oktober 2010) dengan tamsilan boh lupieng untuk menggambarkan salah satu kondisi pemuda, tentu bukan sekedar tamsilan kosong yang tidak memiliki makna substansi. Hal ini sudah cukup jelas disampaikan dalam tulisannya tersebut dan perlu kiranya untuk dielaborasi secara mendalam dan spesifik.
Pada kesempatan ini, penulis lebih menyoroti salah satu unsur kepemudaan yang pantas digantungkan harapan besar untuk perubahan, yaitu mahasiswa. Mahasiswa adalah insan cerdas dengan intelektualitas menjadi ciri khas yang disematkan sebagai identitas dan idealisme sebagai patronnya. Potensi tersebut membuat mahasiswa mengambil peran strategis dalam berbagai upaya perubahan di negeri ini tak terkecuali di Aceh. Penulis tak akan menyebut satu persatu dari serangkaiaan aksi para mahasiswa di Aceh yang telah berlangsung masif pasca reformasi dan perdamaian Aceh dengan berbagai isu yang ditanggapi, baik itu pragmatis maupun ideologis.
Tak perlu diragukan lagi, tingkat sensitifitas mahasiswa menanggapi permasalahan yang terjadi cukup tinggi. Sebagaimana kita mencermati media Serambi Indonesia misalnya, aksi mahasiswa berdemonstrasi menanggapi persoalan yang terjadi di Aceh selalu mendapat tempat di ruang baca kita. Memperhatikan pemberitaan Serambi Indonesia (22/10/10) tentang aksi mahasiswa unsyiah yang menuntut MPD dan TKP2A dibubarkan. Pada satu sisi, penulis cukup mengapresiasi inisiatif aksi tersebut. Namun, sedikit catatan bahwa apa yang menjadi tuntutan oleh mahasiswa tersebut tidaklah solutif. Bahkan cenderung reaksional dan pragmatis karena didorong oleh emosi terhadap isu pengurangan formasi penerimaan PNS tenaga pendidikan.
Budaya kritis mahasiswa sangat perlu terus dikembangkan baik berkaitan dengan ranah akademik maupun terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan tentunya dengan cara-cara intelek dan jauh dari anarkisme. Mahasiswa harus dominan menggunakan otaknya ketimbang otot. Sebuah aib ketika mahasiswa mengekpresikan penyelesaiaan persoalan yang dihadapi dengan otot (anarkisme pen.) seperti tawuran dan pengrusakan.
Aceh dengan julukan negeri syariat, tentu tak lepas dari berbagai ketimpangan yang menodai Syariat Islam (SI) itu sendiri. Mengawal pelaksanaan SI menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh semua pihak, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa. Ironis bahwa akhir-akhir ini sangat jarang kita mendengar suara mahasiswa untuk persoalan penerapan SI. Suara latang dan teriakan keras mahasiswa sebagai insan intelektual seharusnya dapat memberi daya dorong bagi pemerintah Aceh untuk lebih serius dan yakin dalam menerapkan SI. Apakah isu SI ini tidak laku dalam wahana kampus dan lebih tertarik pada isu reaksional lainnya?Ataukah mahasiswa belum paham bahwa SI adalah solusi utama sehingga menjadi persoalan hidup mati terutama mahasiswa muslim sebagai konsekuensi keimanannya?Atau lebih ekstrim lagi penulis menanyakan apakah mahasiswa terlalu munafik untuk mengusung isu SI ini?
Sudah tidak pantas menjadi perdebatan lagi terhadap relevansi SI sebagai problem solver untuk berbagai problemtika yang terjadi baik di Aceh maupun Indonesia secara umum. Dan sudah jelas pula dominasi sistem sekular-kapitalis saat ini telah membuat kerusakan dimana-mana sehingga dibutuhkan solusi alternatif yang fundamental. Solusi tersebut menurut penulis adalah menghadirkan kembali SI secara totalitas dalam ranah kehidupan publik yang selama ini telah direduksi hanya pada tataran individual.
Hal inilah yang menjadi isu sentral ketika setahun yang lalu menghadiri sebuah kongres mahasiswa tepatnya 18 Oktober 2009, lebih dari 5000 mahasiswa muslim seluruh Indonesia berkongres di Senayan Jakarta. Menganalisa secara mendalam kondisi negeri ini dan menemukan akar masalahnya yaitu kerena tidak diterapkan Syariah sebagai sistem peraturan bernegara. Mahasiswa muslim sepakat menjadikan mainstream perjuangannya sebagai perjuangan intelektual yang ideologis.
Bertolak dari hal di atas, Aceh seharusnya sudah maju satu langkah lebih awal untuk menghadirkan SI dalam ranah publik melalui legalitas pelaksanaan yang diatur undang-undang. Namun, realisasinya masih jauh dari harapan, bahkan bisa menjadi bumerang untuk eksistensi pelaksanaan SI di Aceh yang katanya menjadi pilot project bagi daerah lain.
Pada kondisi seperti inilah mahasiswa mengambil peran strategis untuk menjadikan SI sebagai isu utama yang diperjuangkan. Aceh memiliki kampus besar seperti Unsyiah, Unimal, IAIN ar- Raniry dan beberapa kampus lainnya baik negeri maupun swasta yang telah memiliki rekam jejak untuk bereaksi terhadap permasalahan lokal maupun nasional. Ditambah lagi organisasi kemahasiswaan ekstra kampus yang juga eksis menyuarakan aspirasinya.
Butuh Kesadaran Politik
Politik seolah menjadi hal yang tabu di kalangan aktivis kampus sehingga menimbulkan faksi yang kadang menuju pada benturan yang tidak sehat. Penulis kurang sependapat untuk menghilangkan eksistensi politik di kampus. Mahasiswa harus melek politik dan memiliki kesadaran politik yang kuat. Namun, juga perlu dipilah politik seperti apa yang bisa diterima dan ditolak keberadaannya di kampus, sehingga tidak menggeneralisasi dan sporadis dalam mengklaim haramnya politik di kampus.
Jika kita tinjau paradigma Islam memandang politik tentu berbeda jauh dengan paradigma politik yang dominan dipakai saat ini. An Nabhani dalam Kitab Mafaahiim Siyasiyah (2005:1) mendefinisikan politik (as siyasah) sebagai pemeliharaan (ri’ayah) urusan rakyat baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sungguh berbeda dengan kehidupan perpolitikan yang sedang berlangsung saat ini, yakni perpolitikan Machivellis. Paradigma ini memandang bahwa aktivitas politik adalah hanya aktivitas memperoleh dan mempertahankan kekuasaan tanpa ada sesuatu batasan nilai yang melingkupinya, sehingga segala cara bisa ditempuh untuk berkuasa. Untuk paradigma Machivelis ini harus ditolak keberadaanya di kampus bahkan juga dalam kehidupan perpolitikan nasional.
Aktivitas politik adalah aktivitas yang mulia jika menggunakan Islam sebagai paradigmanya yaitu ri’ayah (mengurusi) urusan umat. Segala aktivitas yang didedikasikan untuk kepentingan umat dengan cara syar’i adalah aktivitas politik. Wahana berpikir inilah yang harus dipakai oleh mahasiswa sebagai mainstream pergerakannya dan meninggalkan mainstream oportunistik kekuasaan semata.
Untuk itu, kita akan terus berharap dan menanti suara mahasiswa untuk kembali mengusung isu pelaksanaan SI secara totalitas dan tentunya dengan cara-cara cerdas dan masif. Semoga tamsilan boh lupieng tidak melekat pada mahasiswa sebagai insan intelektual yang memiliki kesadaran politik yang utuh.