Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks! -----Menggagas Kesadaran Beridiologi Islam----- Selamat datang di doumy's blog, semoga isi pada blog ini bermanfaat bagi anda. Terimakasih! ||| welcome to doumy's blog, i hope contents in this blog usefull for you. Thanks!

Sabtu, 23 Agustus 2008

Mewujudkan Partisipasi Masyarakat Aceh Dalam Perdamaian Melalui Pendekatan Syariat Dan Adat

Pendahuluan
Tanpa terasa sudah 3 tahun perdamaian di Aceh berjalan yang menciptakan suasana damai sebagai realisasi harapan yang dinantikan berpuluh-puluh tahun oleh masyarakat Aceh. Tentu kita semua tidak ingin perdamaian sebagai rahmat dari Allah SWT tersebut pergi meninggalkan tanah Aceh dengan mudahnya tanpa ada upaya untuk memupuk dan menjaga suasana tersebut.
Ilustrasi perjalanan panjang masyarakat Aceh yang penuh dengan polemik membuatnya menarik untuk dibahas. Deraan konflik berpuluh-puluh tahun antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seolah menjadi keseharian yang sulit untuk dihentikan. Berbagai usaha damai telah dilakukan oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri deraan sebagai efek konflik yang tiap harinya dialami masyarakat Aceh.

Penandatanganan nota kesepahaman yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh" di Jenewa pada Mei 2000 adalah salah satu usaha yang dilakukan. Namun, perjanjian tersebut tidak bertahan lama kondisi Aceh kembali memanas. Selanjutnya upaya damai digagas kembali melalui penandatanganan The Cessation of Hostilities Agreement (COHA) atau Kesepakatan Penghentian Permusuhan pada 09 Desember 2002. Nasib perjanjian tersebut juga tak jauh beda dengan yang pertama, lagi-lagi konflik tak bisa dihentikan. Seolah tak cukup dengan konflik, masyarakat Aceh kembali diterpa dengan musibah gempa dan gelombang Tsunami pada 26 Desember 2004 silam menambah raungan tangis masyarakat Aceh.

Perasaan keagamaan yang masih kental pada masyarakat Aceh sebagai daerah awal penyebaran Islam di Nusantara berimplikasi terhadap ketabahan masyarakat menghadapi berbagai penderitaan yang datang silih berganti. Namun, dengan ditanda-tangani Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 merupakan lembaran sejarah baru bagi Aceh.
Oleh karena itu, untuk mengisi dan menjaga suasana damai tersebut agar terus bersemi diperlukan peran dari berbagai pihak terutama mesyarakat Aceh. Mewujudkan partisapasi masyarakat dalam menjaga perdamaian, tentunya harus diupayakan melalui berbagai pendekatan. Pertama. pendekatan keagamaan yang dalam hal ini adalah Syariat Islam. Kedua, adalah pendekatan adat sebagai norma dalam masyarakat yang masih mengental sekaligus warisan kejayaan masa lalu yang terus dijaga.

Syariat Islam Sebagai Nyawa Kebangkitan Aceh
Islam adalah agama yang membawa perdamaian, cinta damai dan identik dengan kedamaian. Karena ajarannya memberi pesan untuk menjaga keharmonisan bumi ini. Tidak hanya bagi makhluk bumi yang bernama manusia. Tetapi juga semua makhluk yang bernyawa harus dijaga kelestarian dan keharmonisan hidupnya . Sekilas pengertian di atas menunjukkan relevansi Syariat Islam sebagai sebuah sistem operasional yang secara normatif melalui keuniversalitas ajaran Islam, sehingga layak di terapkan dalam menciptakan kedamaian di muka bumi.
Berkaitan dengan hal itu, pemberlakuan Syariat Islam di Aceh melalui beberapa pijakan formal yaitu diawali UU NO. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan D.I. Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi D.I. Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam (NAD), dan Kebijakan Gubernur Provinsi NAD tentang tiga pilar pembangunan Aceh, yaitu penyelesaian konflik, pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah dan ekonomi kerakyatan , menjadi angin segar bagi keberlanjutan perdamaian di Aceh.

Pijakan tersebut merupakan realisasi tuntutan masyarakat Aceh untuk menerapkan Syariat Islam yang secara historis sudah dilaksanakan pada masa lalu yaitu masa Kerajaan Aceh yang dulunya gemilang di bawah Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636 M). Semangat itulah yang merebak kepermukaan untuk menghadirkan kembali Syariat Islam di tengah-tengah pranata kehidupan masyarakat Aceh.

Dengan modal semangat dan kemauan yang kuat masyarakat terhadap syariat Islam, tentunya menjadi peluang besar bagi pemerintah dan pihak terkait untuk merangkul masyarakat dalam upaya menjaga perdamaian yang sedang berjalan ini. Karena konsekuensi kesadaran bersyariat adalah persatuan yang menolak kekerasan dan disintegrasi. Tinggal lagi bagaimana kesadaran tersebut benar-benar tersosialisasi pada masyarakat yang sudah memiliki modal semngat dan perasaan yang islami. Sehingga dengan kesadaran itulah perdamiaan akan terpupuk dan membawa Aceh menuju kepada kebangkitannya.

Aktualisasi Sistem Adat Aceh
Adat istiadat masih menjadi isu sentral di tengah komunitas masyarakat Aceh yang merupakan integritas dari ajaran Islam. Badruzzaman Ismail (2007:54), menjelaskan bahwa bagi orang Aceh agama dan adat seperti zat dengan sifat atau dalam bahasa Aceh lagei zat ngon sifeuet. Adat yang berkembang di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam karena memang adat bersumber dari syarak . Mungkin kita sering mendengar sebuah adagium (Hadih Maja) “Adat bak Po Teumeurehom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putro Phang, reusam bak Laksamana” yang mendeskripsikan pembagian wewenang dalam sIstem sosial masyarakat pada masa-masa Kerajaan Aceh.

Eksistensi adat yang masih melekat erat pada masyarakat Aceh dapat dijadikan sebagai pendorong partisipasi masyarakat dalam menjaga perdamaian. Melalui pendekatan adat, sosialisasi perdamaian akan lebih mudah sampai pada masyarakat karena apresiasi dan komitmen mereka terhadap adat. Sehingga wajar jika salah satu sisi keistimewaan Aceh adalah adat istiadat. Oleh sebab itu, aktualisasi peran sistem adat Aceh dapat digerakkan secara aktif untuk membina masyarakat, sehingga benih-benih permusuhan dan dendam sebagai efek konflik dapat diredam.

Harmonisasi Syariat dan Adat
Adat sebagai sebuah warisan nenek moyang bagi masyarakat Aceh tentunya telah mengalami islamisasi di daratan Aceh. Banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa integritas Islam dengan adat Aceh. Namun, tidak dapat dipastikan adat yang berkembang di masyarakat Aceh sudah islami.

Sehingga perlu diperhatikan terutama ketika pendekatan adat ini di jadikan sarana untuk mewujudkan partisipasi masyarakat untuk perdamaian. Perlu diingat bahwa Islam yang menjadi keyakinan mayoritas masyarakat Aceh adalah sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat, sehingga yang menjadi ukuran adalah syariat Islam sebagai operasional dari Islam itu sendiri. Untuk itu, dalam pelaksanaannya pendekatan adat harus merujuk pada syariat Islam. Capaian tersebut harus dibidani oleh orang yang pakar dalam bidang syariat dan adat agar tidak terjadi kontradiksi di tengah masyarakat yang berujung pada konflik kembali.

Pendekatan Syariat Islam dan adat seyogyanya dapat dijadikan upaya untuk menjaga perdamaian yang sudah lama dinantikan masyarakat Aceh. Melalui kesadaran bersyariat dan dan adat masyarakat benar-benar dapat berpartisipasi aktif memupuk suasana damai dan menikmati indahnya perdamaian dan persatuan sebagai sebuah nilai kemanusiaan.[doumy_1@yahoo.com]

Doumy mengatakan...

walaikumsalam.
yuswandi, trim's atas komentarnya. ana stuju banget klu blogging dapat dijadikan sarana jalin ukhuwah n berbagi informasi. salam kenal juga.